LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI 1
PENGENALAN HEWAN COBA DAN RUTE
PEMBERIAN OBAT
TANGGAL PERCOBAAN: 17 April 2012
Di
susun oleh Kelompok 4
1.
Lingga
Widayana ( 0661 10 055)
2.
Andi
mawwadah (0661 10 9062)
3.
Putri
Nuraini (0661 10 046)
4.
Syifa
Fauziah (0661 10 064 )
Dosen
pembimbing :
Drh.
Mien R.,M.c.,ph.D
E.mulyati
Effendi,.MS
Yulianita,.S.Farm
Nisa
Najwa,.S.Fam.,Apt
PROGRAM
STUDI FARMASI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
PAKUAN
BOGOR
TAHUN
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi
Allah swt karema telah member kemudahan untuk menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun unutk memenuhi tugas farmakolgi .Makalah ini memuat tentang
“Antikonvulsan”
Penyusun
juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan
kekurangan.
Terima
kasih.
PENULIS
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL : pengenalan
hewan coba dan rute pemberian obat
Dosen pembimbing : Drh. Mien Rachminiwati
E.
Mulyati Effendi. Ms., Ir
(Lingga
Widayana) (Andi
Mawaddah)
(Putri
Nuraini) (Syifa
Fauziah)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebagai
mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan
juga dari segi farmakologi. Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi
obat dengan sub-bab rute pemberian obat. Addpun yang melatar belakangi
pengangkatan materi adalah agar kita dapat mengetahui kaitan antara rute
pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan pertama kali.
B. Tujuan percobaan
Adapun tujuan yang diharapkan dalam praktikum ini
adalah :
Ø Mahasiswa
mengetahui beberapa hewan yang dapat digunakan untuk pengujian obat
Ø Mahasiswa
dilatih untuk mengetahui cara pemberian obat
Ø Mahasiswa
dilatih untuk mengetahui bagaimana pengaruh obat yang diberikan secara berbeda
rute pemberian
C. HIPOTESIS
·
Metode yang paling baik di gunkan adalah peroral karna
dapar di peroleh efek yang sistemik
yaitu obat beredar ke seluruh tubuh
·
Urethan menimbulkan efek anaestasi, menurunkan
aktifitas, dan membuat mengantuk
·
Menurut
literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum
dilakukan karena mudah, aman, dan murah.
BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
Ditinjau
dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor
keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik
hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu
1). Hewan
liar.
2). Hewan
yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3). Hewan
yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim barrier (tertutup).
4). Hewan
yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistem isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas
disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat
cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan
demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar,
hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah
maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987).
D.
Dasar
teori
Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
Bentuk sediaan yang
diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan
demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan
obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik
diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang
efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan
Rute penggunaan obat dapat dengan cara:
a. Melalui rute oral
b. Melalui rute parenteral
c. Melalui rute inhalasi
d. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e. Melalui rute kulit
(Anief, 1990).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan ( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan
Rute penggunaan obat dapat dengan cara:
a. Melalui rute oral
b. Melalui rute parenteral
c. Melalui rute inhalasi
d. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e. Melalui rute kulit
(Anief, 1990).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan ( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Cara memegang hewan
serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan
dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat
hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam
caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi
hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah,
misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G, 1989).
Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma, sampai dengan kematian. Efek hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya merupakan tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu (Ganiswara, 1995).
Barbiturat secara oral diabsorbsi cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat diabsorbsi dari bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 menit, bergantung kepada zat serta formula sediaan dan dihambat oleh adanya makanan didalam lambung. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan PP sesuai dengan kelarutannya dalam lemak, thiopental yang terbesar, terikat lebih dari 65%. Kira-kira 25% fenobarbital dan hampir semua aprobarbital diekskresi kedalam urin dalam bentuk utuh (Ganiswara, 1995).
Resorpinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-t ½-nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. Kurang lebih 50% dipecah menjadi p-hidrokdifenobarbitat yang diekskresikan lewat urin dan hanya 10-30% dalam kedaan utuh. Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya, yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis pada anak kecil. Pengunaannya bersama valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital. Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kg berat badan sehari; pada status epilepticus dewasa 200-300 mg (Tjay dan Rahardja, 2006).
Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma, sampai dengan kematian. Efek hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya merupakan tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu (Ganiswara, 1995).
Barbiturat secara oral diabsorbsi cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat diabsorbsi dari bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 menit, bergantung kepada zat serta formula sediaan dan dihambat oleh adanya makanan didalam lambung. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan PP sesuai dengan kelarutannya dalam lemak, thiopental yang terbesar, terikat lebih dari 65%. Kira-kira 25% fenobarbital dan hampir semua aprobarbital diekskresi kedalam urin dalam bentuk utuh (Ganiswara, 1995).
Resorpinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-t ½-nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. Kurang lebih 50% dipecah menjadi p-hidrokdifenobarbitat yang diekskresikan lewat urin dan hanya 10-30% dalam kedaan utuh. Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya, yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis pada anak kecil. Pengunaannya bersama valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital. Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kg berat badan sehari; pada status epilepticus dewasa 200-300 mg (Tjay dan Rahardja, 2006).
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Perhitungan
dan Hasil
pengamatan
|
Hewan Coba
|
||
Kelinci
|
Mencit
|
Tikus
|
|
Bobot
Badan
|
1kg 30 gr
|
30 gram
|
178 gram
|
Frekuensi
Jantung
|
200/menit
|
199/menit
|
189/menit
|
Laju nafas
|
+ + +
|
+ + +
|
+ + +
|
Refleks
|
+ + +
|
+ + +
|
+ + +
|
Tonus otot
|
+ + +
|
+ + +
|
+ + +
|
Kesadaran
|
+ + +
|
+ + +
|
+ + +
|
Rasa nyeri
|
+ + +
|
+ + +
|
+ + +
|
Perhitungan Dosis:
-
Oral pada mencit : v = BB (gr) x Dosis
Konsentrasi obat
v = 30 x 1.8 = 0,05
gram
1000
-Oral pada Tikus: v = BB (gr) x Dosis
Konsentrasi obat
v= 178x1.8 = 0,32
gram
1000
Mencit
|
BB (Gram)
|
Rute
Pemberian
|
Dosis
|
T (waktu)
|
Respon
|
Kel I
|
36
|
Oral
|
0,6 ml
|
50detik
|
mati
|
Kel 2
|
27
|
Subkutan
|
0,486
|
1 menit
30detik
|
Lemas
|
Kel 3
|
31
|
Intra vena
|
0,58
|
1 menit 20
detik
|
Lemas
|
Kel 4
|
30
|
oral
|
0,5 ml
|
10 detik
|
mati
|
Kel 5
|
29
|
subkutan
|
0,522
|
30 menit 1
detik
|
Lemas
|
Kel 6
|
31
|
Intra vena
|
0,58l
|
18 menit
14 detik
|
Aktifitas
melemah
|
Kel 7
|
34
|
oral
|
0,6ml
|
2 menit 40
detik
|
lemah
|
Kel 8
|
31
|
subkutan
|
0,55
|
4 menit 26
detik
|
lemah
|
B.
Pembahasan
Pada praktikum ini, di lakukan
berbagai macam cara pemberian obat urethan kepada 8 mencit. Pada awalnya mencit
bersifat normal (aktif berlari,
memanjat, dll). Kemudian disuntikkan obat urethan ke masing-masing mencit dengan berbagai macam cara pemberian obat,
yaitu oral, intra vena, intra peritoneal, intra muscular, dan subcutan. Dosis
yang diberikan kepada masing-masing mencit berbeda-beda, sesuai dengan berat
badan mencit masing-masing. Setelah pemberian urethan, perubahan mulai terjadi
pada mencit, namun ada 1 perbedaan pada hasilnya, yaitu perbedaan pada waktu
obat mulai bereaksi terhadap masing-masing mencit. Injeksi melalui vena dilihat
paling cepat memberikan efek obatnya. Itu disebabkan obat langsung diinjeksikan
ke dalam pembuluh darah vena , sehingga distribusi dan absorpsi obat lebih
cepat. Sedangkan oral sangat lama kerjanya, dikarenakan obat harus diabsorpsi
melalui saluran cerna terlebih dahulu.dan juga hewan percobaan rentan sekali
mati dikarnakan adanya kesalahan pada teknis pemberian obat
kali ini yaitu perhitungan dosis, dimana dosis yang
diberikan harus sesuai dengan bobot hewan coba, yang berarti setiap hewan coba
memiliki dosis yang berbeda-beda.Percobaan pertama diberikan pada jalur peroral
dan intravena. Pemberian obat secaraoral tidak memperlihatkan efek obat yang
diinginkan, rata-rata memerlukan waktu yanglama untuk dapat mencapai onsetnya.
Hal ini disebabkan banyaknya faktor yangmempengaruhi bioavailabilitas obat,
yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yangmencapai sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yangmempengaruhi yaitu faktor
obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat.Sifat fisikokimia obat
yang mempengaruhi, antara lain
1.Stabilitas pada pH lambung,
2.stabilitas terhadap enzim-enzim
pencernaan,
3.stabilitas terhadap flora usus
4.kelarutan dalam air atau cairan
saluran cerna
5.ukuran molekul,6.derajat ionisasi
pada pH salauran cerna,
7.kelarutan bentuk non-ion dalam
lemak,
8.stabilitas terhadap enzim-enzim
dalam dinding saluran cerna, dan
9.stabilitas terhadap enzim-enzim di
dalam hati.
Keterangan :
·
Poin nomor 1—3 menentukan jumlah obat yang tersedia
untuk diabsorpsi.
·
Poin nomor 4—7 menentukan kecepatan absorpsi obat.
·
Poin nomor 8 dan 9 menentukan kecepatandisintegrasi
dan disolusi obat.
Percobaan pengaruh obat, terhadap
jenis kelamin yang berbeda ternyata tidak menunjukkan efek yang berbeda.
Efek yang ditimbulkan obat adalah tidur tidak bereaksi.Perbedaan cara pemberian
obat ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset dan durasi dariobat. Dengan kata
lain, perbedaan cara pemberian obat akan memberikan efek yang
yang berbeda-beda. Pada pemberian secara oral, akan memberikan onset
paling lambat karenamelalui saluran cerna dan lambat di absorbsi oleh tubuh.
Selain itu banyak faktor yangdapat mempengaruhi bioavaibilitas obat sehingga
mempengaruhi efek yang ditimbulkan.Pemberian secara intravena seharusnya
menunjukkan onset paling cepat karena kadar obat langsung terdistribusi
dan dibawa oleh darah dalam pembuluh.
Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan
antara lain :
1.
Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini
dikarenakan setiap hewan ujidiperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda
dengan skill
2.
Injeksi yang
salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang salah sehingga
absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yangseharusnya. Injeksi yang
salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak sesuai dengan
yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik.
3.
Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang
berbeda-beda. Hewan percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan
onset dan durasi obat menjadi lebihcepat dari pada seharusnya atau tidak timbul
efek pada hewan percobaan walaupundiberikan injeksi sesuai dosis yang telah
ditentukan.
4.
4.Kondisi hewan coba
5.
Kesimpulan
·
Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan
garis-garis yang disesuaikan
dengan urutan mencit.
·
Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan
menyuntikkan tepat pada bagian abdomen mencit dan melaui oral dengan
menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya obat kedalam mulut mencit
yang sempit dan langsung ke kerongkongan.
·
Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan
onset of action dibanding secara Intraperitonial, hal ini dikarenakan
Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh
darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih
dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.
·
Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan
efek yang lebih cepat
·
Onset of action dari rute pemberian obat secar IP
lebih cepat diperoleh daripada rute pemberian obat secara oral.
·
Duration of action dari rute pemberian obat secara IP
lebih panjang (lama) dibandingkan rute pemberian obat secara oral.
6.
Saran
·
Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan
dan dalam pembacaan skala spuit agar
dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
·
Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial
agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ
dalam yang vital.
7.
DAFTAR
PUSTAKA
Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hal. 42-43.
Anonim I, 2008.Farmakologi-1.
Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik.
Edisi VI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.
Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat Penelitian Obat
Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar
Farmakologi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G.
Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan
Menentukan Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis.
Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_FaktorKeturunandanLingkungan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar